Why Can’t I Call You Oppa? [First Shot]
3 Oct
Title: Why Can’t I Call You Oppa? [First Shot]
Author: Mutiara R. Utami
Cast: Lee Taemin, Choi Minho, Eunhyuk
Genre: Tragedy, AU
Length: Two Shot
Rating: PG-15
Credit photo: TAEMStreet, daiskey, uniqueunit2007 (and edited by heeShinju)
Disclaimer: I do not own the characters, pictures, and places.
I own the plot, do not take it without a proper credit.
“Taemin-ah…”
“Noona, noona…”
“Uljima, Taemin-ah… semua baik-baik saja, kau pasti selamat, uhri Taeminie…”
“Noona…”
Dan perlahan-lahan kelopak mata itu menutup…
***
KRRRRIIIIIINGGGGG!!
Suara bekerku yang dahsyat menyadarkanku dari tidurku. Aku langsung turun dari tempat tidur tingkatku dan mematikan bekerku sebagai tanda bahwa aku telah terbangun, sebelum eomma meneriakiku dari dapur. Saat meraih jam beker dari meja belajar itulah, pandanganku tertumbuk pada sebingkai foto yang terpajang tepat di samping beker.
Foto seorang anak lelaki dan perempuan kelas enam SD yang wajahnya bagaikan pinang di belah dua, biar pun yang perempuan berambut panjang dikuncir dua dan memakai rok. Kuraih foto itu, kupastikan tiak ada setitik debu pun yang menempel, lalu kupeluk foto itu erat-erat.
Sudah setahun berlalu sejak adik lelakiku—atau kembaranku—Taemin, meninggal dunia. Dan selama setahun itu pula, aku selalu memimpikan saat-saat terakhir aku melihatnya hidup, seperti hari ini aku kembali memimpikannya. Darah yang membasahi jalanan, serta kata-kata terakhirnya itu… aku tahu, Taemin sudah meninggal dan tidaklah baik bagiku untuk selalu mengingat kenangan buruk itu… tapi mimpi itu selalu datang tiap malam, maka bagaimana aku bisa melupakan kecelakaan naas itu?
Pintu diketuk dan eomma muncul, masih memakai celemek dan memegang sendok sup. Aku buru-buru meletakkan foto itu, tapi terlambat. Ekspresi eomma langsung mengeras dan berubah dingin.
“Cepat turun dan makan, lalu sekolah,” hanya itu yang dikatakannya, lalu eomma pergi lagi tanpa menunggu jawabanku.
“Ne, Eomma,” bisikku lirih.
***
Namaku Lee Tami, kelas satu di Paran Junior High. Aku melangkah memasuki kelasku dan disambut berpasang-pasang mata yang menatapku dengan pandangan kasihan.
Ah, lagi-lagi seperti ini. Sejak Taemin meninggal, satu sekolah menatapku dengan pandangan kasihan. Kuakui aku sangat sedih dan jadi banyak menyendiri saat Taemin meninggal, tapi sekarang aku sudah baik-baik saja, tidak bisakah mereka berhenti mengasihaniku?
Teman-teman yang dulu selalu ada di sampingku pun entah sejak kapan tidak lagi bisa kupanggil teman. Sejak Taemin meninggal, mereka bilang aku berubah, lalu satu per satu mereka menjauhiku. Teman apanya? Apakah mereka tidak bisa memahami perasaanku? Tidak tahukah mereka bahwa aku membutuhkan dukungan moral dari mereka di saat-saat itu? Bukannya menghibur dan menemaniku, mereka malah bilang aku berubah dan bukan diriku lagi.
Astaga, tentu saja aku berubah. Coba saja kalau seseorang yang selalu bersama denganmu sejak dalam kandungan meninggal di depan matamu, apakah kau masih bisa bersikap biasa? Tertawa ceria seolah tidak ada yang tejadi? Kurasa normal saja kalau aku jadi lebih pendiam setelah kehilangan Taemin-ku, kembaranku, separuh diriku. Tapi di luar itu aku tetap Lee Tami yang dulu, masih Lee Tami yang suka membaca komik dan pergi karaoke di waktu luangnya, masih Lee Tami yang membutuhkan teman-temannya untuk bergaul dan mengobrol. Tidak bisakah mereka memahami hal itu?
“Ya! Lee Tae… ehm, Lee Tami!”
Minho adalah sahabat Taemin sejak SD. Ah, kenapa aku lupa, sejak Taemin meninggal, Minho lah satu-satunya yang masih sering mengobrol dan mengajakku bermain seperti biasa. Awalnya aku senang karena Minho memperlakukanku seperti biasa, tapi lama-lama aku merasakan sesuatu yang aneh di balik sikapnya itu. Minho menganggapku sebagai pengganti Taemin. Aku tahu Minho juga sangat kehilangan Taemin, dan mungkin dengan bersamaku dia berusaha menipu diri dengan menganggap Taemin masih hidup, dan aku tidak menginginkan hal itu. Lee Taemin sudah meninggal, yang tertinggal di dunia ini adalah Lee Tami, kembarannya.
“Ada apa, Minho-yah?” tanyaku.
Minho duduk dengan tubuh menghadap sandaran kursi, seperti yang biasa dia lakukan jika sedang mengobrol dengan Taemin sebelum sosaengnim datang.
“Yah, aku sudah mendaftarkan nama kita untuk acara minggu depan, kau ikut, kan?” tanyanya.
“Ikut apa?” tanyaku tidak mengerti.
“Kok, malah nanya? Tentu saja dance battle tahunan yang sejak dulu kau inginkan,” Minho tersenyum lebar tapi kemarahanku naik sampai ke ubun-ubun.
“Dengar, Minho, berhenti lah menganggapku sebagai Taemin!” teriakku.
Kurasakan seisi kelas jadi hening dan semua mata tertuju pada kami.
Minho terlihat gelagapan, “Mmm, maksudku, kau tentu ingin membantu merealisasikan impian Taemin yang belum sempat terwujud, Tami,” katanya.
Ya, itu benar, menjadi dancer adalah impian Taemin yang selalu dikatakannya pada setiap orang. Tidak ada satu pun siswa di sekolah ini yang tidak tahu impian Taemin itu dan tidak satu pun yang tidak mengakui kehebatan Taemin di lantai dansa. Tapi aku benar-benar kebalikan dari Taemin. Seluruh engsel di badanku kaku dan tidak bisa melakukan satu gerakan dance pun. Keterlaluan sekali kalau Minho menganggapku akan menggantikan Taemin mengikuti dance battle.
Sial, air mataku hampir keluar.
“Yah! Choi Minho, bersihkan matamu baik-baik dan perhatikan, aku Lee Tami, bukan Lee Taemin! Berhentilah memperlakukanku seperti kau memperlakukan Taemin, itu hanya membuatku terus sedih mengingatnya!”
Aku menggebrak meja lalu berlari keluar kelas. Tidak kupedulikan teriakan Minho yang memintaku kembali. Aku bahkan tidak peduli saat aku menubruk sosaengnim dan beliau juga tidak menghentikanku. Justru pengertian berlebihan yang diberikan pihak sekolah padaku ini lah yang membuatku makin tidak nyaman. Mereka semua memperlakukanku dengan super hati-hati karena takut aku teringat pada Taemin. Tapi akibatnya mereka jadi takut mendekatiku, aku seperti wabah penyakit berjalan.
Sampai kapan keadaan menekan ini akan terus berlanjut?
Taemin-ah, kembalilah, Taemin, noona tidak bisa kalau hanya sendirian menghadapi seluruh dunia ini, Taemin-ah… dunia yang kita datangi bersama, bukankah seharusnya kita juga bersama saat meninggalkan dunia ini? Kenapa kau pergi sendiri? Kenapa kau meninggalkan noona, Taemin-ah?
Aku sampai di atap gedung sekolahku, tempat favoritku karena di sini aku bisa bebas mengeluarkan frustasiku tanpa ada yang melihat. Aku duduk dan menyandar di pagar besi pengaman yang katanya untuk mencegah siswa yang ingin melompat bunuh diri. Air mataku mengalir deras.
Ah, Taemin, maafkan noona. Maaf karena sudah berpikir seperti tadi. Padahal noona sudah berjanji akan merelakan Taemin dan hidup bahagia di dunia ini untuk Taemin juga.
Aku melap air mataku dengan ujung lengan bajuku, lalu berdiri dan mencengkeram jeruji pagar besi itu.
“Tami ppabo! PPABO, YAH~ PPABO!!” teriakku sekencang-kencangnya untuk melepas stres.
“YAH! JANGAN MELOMPAT! JANGAN BUNUH DIRI!!” teriak seseorang.
Lalu aku merasa sepasang lengan memeluk erat pinggangku dari belakang dan dengan kuat menarikku menjauhi pagar. Saking kuatnya tarikannya, akhirnya aku dan penarikku itu jatuh terduduk ke belakang.
Uukh, pantatku pasti lebam beradu dengan semen keras ini. Tapi rasa sakit itu, juga rasa sakit di hatiku, berkurang drastis melihat si pemilik lengan itu.
“Ppabo yah! Apa kau pikir kembaranmu bakal senang kalau kau menyusulnya dengan kepala hancur gara-gara lompat dari lantai tiga sekolahmu, hah?!” bentak Lee Eunhyuk.
Biar pun dia membentakku, tapi aku tahu dia mencemaskanku.
“Aish, tidak! Bukan begitu! Aku sama sekali tidak pernah berniat bunuh diri!” bantahku.
“Lalu? Kenapa kau berteriak-teriak di atap, hah? Mana mukamu bengkak begitu lagi, pasti habis menangis lagi, kan?” nadanya masih tinggi saat menginterogasiku.
“Justru aku berteriak-teriak untuk melegakan perasaanku,” jelasku.
“Benar? Kau tidak berniat bunuh diri?” tanyanya sekali lagi dengan nada memastikan.
“Benaaar…” aku menganggukkan kepala kuat-kuat.
Setelah yakin aku tidak berniat melompat, barulah Eunhyuk oppa melepaskan tangannya lalu duduk dengan santai di sampingku.
“Haaah, kau membuatku khawatir saja,” dia mengacak-acak rambutku.
Aku tersenyum senang. Eunhyuk oppa lebih tua dua tahun dariku dan Taemin, rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Dulu kami sering pergi dan pulang sekolah bersama-sama, tapi sejak Eunhyuk oppa masuk SMP, kami sudah tidak pernah pergi pulang bareng lagi, bahkan setelah aku dan Taemin juga masuk SMP yang sama dengannya. Walau kadang-kadang Eunhyuk oppa masih sering datang ke rumah dan sebaliknya kami sering ke rumahnya. Taemin sangat mengagumi Eunhyuk oppa, karena oppa lah Taemin ingin jadi dancer. Ya, Eunhyuk oppa adalah dancer berbakat, bahkan mulai tahun depan oppa akan menjadi trainee di SME.
“Wae? Kenapa malah senyum-senyum? Aku benar-benar berpikir kau mau bunuh diri, tahu!” Eunhyuk oppa manyun.
Oh, Tuhan, betapa aku merindukan Eunhyuk oppa yang seperti ini, mengobrol bersama seperti ini.
“Aku senang Oppa mengkhawatirkanku. Sejak Taemin meninggal, Oppa juga mulai menjauhiku, seperti orang lain. Semuanya sedih karena Taemin meninggal, tapi kenapa malah aku yang dijauhi? Padahal dibandingkan siapa pun, aku yang paling sedih karena Taemin meninggal,” aku langsung mencurahkan isi hatiku.
Eunhyuk oppa sekilas memang terlihat konyol dan sering bertingkah yang aneh-aneh, tapi dia sangat peka pada perasaan orang lain. Sejak kecil, aku sering curhat pada oppa, dia pasti akan mendengarkan lalu menghibur sambil mengacak-acak rambutku.
Itu lah yang kuharapkan sekarang, Eunhyuk oppa yang mendengarkan kesedihanku, lalu menghiburku seperti dulu. Tapi yang kudapatkan malah Eunhyuk oppa yang tiba-tiba menatapku dingin.
“Op…pa?” aku memanggilnya ragu.
“Jangan memanggilku seperti itu lagi,” ujarnya singkat.
Apa? Hanya itu? Hanya itu kah yang kau katakan padaku setelah aku mencurahkan kesedihanku? Kenapa? Kenapa kau juga bersikap dingin padaku? Aku bahkan tidak diizinkan untuk memanggilmu ‘Oppa’ lagi?
“Mianhamnida… Sonbae…” kataku lirih tanpa berani menatap wajahnya lagi.
Keheningan yang menyusul sangat tidak enak, dan saat bicara lagi, aku tahu bahwa Eunhyuk oppa—ah, sekarang aku harus membiasakan diri memanggilnya Eunhyuk sonbae—merasa bersalah.
“Sudahlah, coba ceritakan kenapa kau menangis di sini?”
“Kenapa Sonbae tahu aku di sini?” aku malah balas bertanya.
“Choi Minho,” jawabnya pendek.
Cih, setelah tanpa perasaan menyakitiku rupanya dia mengadu pada Eunhyuk oppa.
“Kalau begitu, Sonbae sudah tahu alasan aku ke sini, kan?” tanyaku.
Eunhyuk oppa mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Datanglah minggu depan,” katanya.
“Mwo?”
“Minggu depan, kau bisa lihat aku menari di acara itu. Setidaknya bersenang-senang lah sedikit,” ujarnya.
Benar juga, sudah lama sekali aku tidak melihat tarian Eunhyuk oppa. Yah, mau bagaimana, biasanya Taemin yang menarikku ke acara-acara seperti itu. Apalagi kalau Eunhyuk oppa tampil, tidak ada yang bisa mencegah Taemin untuk pergi menonton dan dia pasti membawaku juga. Bukan hanya karena Taemin mengagumi Eunhyuk oppa, tapi juga karena Taemin tahu bagaimana perasaanku, perasaan yang kupendam sejak kecil pada Eunhyuk oppa.
“Dengar, aku menyesal sikapku padamu sedikit berubah sejak… sejak kejadian itu. Sering-sering lah datang lagi ke dance battle yang kuikuti, arasseo?” pintanya.
Aku mengangguk pelan, “Ne, arasseo…”
Eunhyuk oppa menyodorkan kelingkingnya, “Jadi minggu depan kau akan datang, yaksok?”
Aku menyambut kelingkingnya dan mengaitkan kelingkingku, “Yaksok!”
“Nah, begitu,” Eunhyuk oppa tersenyum dan mengacak rambutku, lalu berdiri, “Sekarang masuk kelas sana, jangan sampai absenmu bertambah lagi.”
Aku mengangguk dan membiarkan Eunhyuk oppa pergi duluan.
Ah, dia memang jadi dingin padaku, tapi setidaknya dia masih memiliki sedikit rasa sayang padaku, karena dia mengkhawatirkanku. Begitu juga tidak apa-apa, perasaanmu yang sedikit itu sangat berarti bagiku.
Oppa, seperti aku merindukan Taemin, aku juga merindukan senyummu itu. Tidak tahu kah kau, bahwa setelah Taemin tidak ada, Oppa lah alasanku untuk tidak secepatnya, menyusul Taemin ke dunia sana. Apa jadinya kalau Oppa juga ikut-ikutan menjauhiku seperti orang lain?
Nae sarang, Eunhyuk oppa…
***
“Hyung!” Choi Minho mencegatku di tangga, “Bagaimana, Hyung? Hyung sudah bicara padanya?”
Aku mengangguk, “Ya, dia berjanji akan datang minggu depan. Sudahlah, sekarang kau sebisa mungkin jangan menyinggung soal dance padanya. Pura-pura tidak tahu saja,” kataku sambil terus berjalan.
Minho mengirinya langkahku, “Hyung, menurut Hyung, kalau minggu depan dia datang apakah dia akan… yah, Hyung tahu kan maksudku…”
Aku menghentikan langkahku dan menghela nafas. Di mataku terbayang wajahnya yang sekarang pucat, matanya yang sekarang kelam, rambut panjangnya yang tadi kuacak, serta tatapan terlukanya saat aku melarangnya memanggilku ‘Oppa’ lagi.
“Entahlah, Minho, Hyung tidak tahu, tapi kita harus terus berusaha. Mungkin hanya ini lah yang bisa kita lakukan… mungkin juga akan gagal, tapi sekarang kita tidak bisa apa-apa lagi…” mataku sedikit memanas.
“Hyung,” Minho menggapai pundakku dan menepuknya pelan.
“Yah! Masuk kelas sana, kau sudah terlambat 30 menit, tahu,” aku menyuruhnya masuk.
“Hyung juga jangan bolos,” balasnya sambil cemberut, tapi dia tidak membantah dan berlari kecil ke kelasnya.
Hhh, mauku juga begitu, keseringan bolos di kelas tiga ini sangat merugikan. Tapi, kalau pun aku masuk, pikiranku tidak akan fokus pada pelajaran. Aku pasti akan terus memikirkan si kembar itu.
Kenapa aku bisa kehilangan mereka berdua di saat bersamaan?
__To Be Continued__
ini ff paling akusuka, bikinannya ank2 FF Indo..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar